JAKARTA - Meski sudah 19 tahun, namun 13 orang korban penculikan dan penghilangan paksa pada tragedi 1997-1998 masih belum diketahui nasibnya.

Mereka yang lantang membuka jalur bagi demokrasi dan keadilan yang setara kala itu diculik satu-persatu. Sembilan belas tahun bukanlah waktu yang pendek untuk sebuah pencarian. Tapi, juga bukan waktu yang panjang untuk sebuah perjuangan keluarga korban dan kebebasan HAM.

Mestinya pemerintahan Jokowi tidak mengulang kemandekan yang dilakukan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Lima tahun setelah keluarnya rekomendasi DPR pada 2009, atas kasus penghilangan paksa, pemerintahan SBY tidak melakukan apa-apa. Padahal kasus penghilangan paksa ini yang paling terang benderang, korban yang sudah ditemukan masih hidup, korban yang belum ditemukan ada juga, terduga pelakunya juga masih hidup, saksi-saksi juga masih hidup, ujar Deputi Direktur Pengembangan Sumber Daya HAM (PSDHAM) Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar kepada Merdeka.com, Kamis (5/5).

''Dalam kasus penghilangan paksa, jika korban belum diketahui keberadaan atau statusnya dapat dikatakan sebagai continuing crime,'' imbuhnya.

Beberapa di antara mereka yang diculik dan dihilangkan ialah Dedy Umar Hamdun hilang pada 29 Mei 1997 terakhir terlihat di Tebet, Herman Hendrawan hilang pada 12 Maret 1998 terakhir terlihat di Gedung YLBHI, Hendra Hambali hilang pada 14 Mei 1998 terakhir terlihat di Glodok Plaza, Ismail hilang pada 29 Mei 1997 Terakhir terlihat di Tebet, M Yusuf hilang pada 7 Mei 1997 Terakhir terlihat di Tebet.

Ada pula Noval Al Katiri hilang pada 29 Mei 1997, Petrus Bima Anugrah hilang pada 1 April 1998 terakhir terlihat di Grogol, Sony hilang pada 26 April 1997 terakhir terlihat di Klapa Gading, Suyat hilang pada 13 Februari 1998 terakhir terlihat di Solo Jawa Tengah, Ucok Munandar Siahaan hilang pada 14 Mei 1998 terakhir terlihat di Ciputat, Yadin Muhidin hilang pada 14 Mei 1998 terakhir terlihat di Sunter Agung, Yani Afri hilang pada 26 April 1997 terakhir terlihat di Klapa Gading, dan Wiji Tukul hilang pada 10 Januari 1998 terakhir terlihat di Utan Kayu. Peristiwa tersebut terjadi beberapa hari menjelang Sidang Umum MPR. Agenda politik di dalamnya ialah pemilihan presiden dan wakilnya.

Banyak pihak turut mendesak agar pemerintah secara resmi membentuk tim untuk pencarian 13 orang tersebut. Tim ini harusnya bekerja untuk menggali informasi dari pihak intelejen, militer, dan kepolisian. Sehingga bisa disimpulkan secara faktuil bagaimana keadaan dan di mana mereka saat ini.

Dalam kasus pelanggaran HAM yang berat, berlaku pertanggungjawaban komando , jadi seluruh pihak yang masuk struktur komando saat itu, dan terlibat dalam pelaksanaan kebijakan itu, bisa dimintai pertanggungjawaban. Negara juga harus mengambil peran dalam proses penyelesaian tersebut, bukan hanya Tim Mawar. Struktur komandonya kan bertingkat, Tim Mawar hanya eksekutor lapangannya, tegasnya.

Jika dipilah, sebagian dari mereka yang hilan ialah loyalis partai politik yang berseberangan dengan Soeharto. Antara lain Yani Afri Pendukung PDI Megawati, ikut koalisi Mega Bintang dalam Pemilu 1997. Sonny Pendukung PDI Megawati, Deddy Hamdun Pengusaha aktif di PPP dan dalam kampanye 1997 Mega-Bintang, Ismail Sopir Deddy Hamdun, Noval Alkatiri Pengusaha, aktivis PPP.

Sedangkan sebagian lainnya ialah aktivis buruh, mahasiswa, dan kaum miskin kota. Mereka ialah Wiji Thukul Penyair aktivis JAKER-PRD, Suyat Aktivis SMID-PRD, Herman Hendrawan Aktivis SMID-PRD, Petrus Bima Anugerah Aktivis SMID-PRD, Ucok Munandar Siahaan Mahasiswa Perbanas, Hendra Hambali Siswa SMU, dan Abdun Nasser seorang Kontraktor.

Hal senada juga diungkapkan anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu. Dia mengakui bahwa sempat tahu dari 13 aktivis yang diculik dan hilang hingga saat ini. Salah satu yang sering dia lihat dalam forum diskusi maupun demonstrasi ialah Wiji Thukul. Maka dari itu dia berharap agar pemerintah mencari di mana keberadaan fisiknya ataupun tempat mereka dibunuh.

"Yang harusnya bertanggung jawab rezim Orba. Presiden pada masa itu. Rezim Orba itu kan rezim militer. Intelejen inilah yang mengontrol aktivitas masyarakat," tuturnya. ***