BEIJING - Merasa benar-benar 'bagak' alias kuat dari sisi militer, Cina terus melakukan pembangunan di Kepulauan Spratly yang berada di Laut Cina Selatan. Putusan internasional menyatakan tindakan itu ilegal, pun tak dipedulikan Cina. "Kami tidak akan pernah menghentikan pembangunan kita di Kepulauan Nansha di tengah jalan," kata komandan Tentara Angkatan Laut Pembebasan Rakyat Wu Shengli kepada Laksamana Amerika Serikat John Richardson menurut kantor berita Xinhua.

Nansha adalah nama Cina untuk Spratly, di mana Cina telah dengan cepat mengubah terumbu karang menjadi pulau buatan. Pulau tersebut dilengkapi fasilitas yang mampu digunakan militer termasuk landasan pacu yang luas.

Banyak klaim tumpang tindih di wilayah tersebut. "Kepulauan Nansha adalah wilayah melekat Cina, dan konstruksi kami di pulau-pulai adalah wajar, dibenarkan dan sah," kata Wu dilansir Channel News Asia, Selasa (19/7/2016).

Pengadilan Tetap Arbitrase (PCA) di Den Haag pekan lalu memutuskan tidak ada dasar hukum untuk klaim Beijing di Laut Cina Selatan. Cina mengklaim dalam sembilan garis putus-putus yang berasal dari peta 1940 dan membentang dekat dengan pantai negara lainnya.

Keputusan yang luas juga mengatakan pembangunan Cina di Mischief Reef melanggar hak-hak kedaulatan Filipina sehubungan dengan zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen.

Filipina yang mengajukan gugatan terhadap Cina menyambut keputusan. Tetapi Cina menganggapnya sebagai 'secarik kertas limbah'.

Meski Cina keberatan, Uni Eropa melalui Presiden Donald Tusk pada pertemuan puncak akhir pekan lalu mengatakan, pihaknya akan terus berbicara dalam mendukung penegakan hukum internasional. Uni Eropa juga memiliki keyakinan penuh terhadap PCA dan keputusan-keputusannya.

Cina menekan negara anggota ASEAN untuk tidak mengeluarkan pernyataan bersama pada putusan. AS, Jepang dan Australia antara lain telah mendesak Beijing untuk menghormati putusan pengadilan.***