LONDON - BBC, Sky TV, maupun ITV mengumumkan hasil referendum berupa kemenangan kelompok pendukung Britania Raya keluar dari Uni Eropa. Dukungan bagi kubu pro-Brexit mencapai 52 persen, sedangkan suara rakyat memilih bertahan 48 persen.

Pada Jumat (24/6) pagi waktu setempat, nilai Tukar Poundsterling telah anjlok ke level terendah 30 tahun terakhir. Demikian pula indeks saham gabungan Inggris, yang rata-rata turun 7,5 persen.

Hasil perhitungan suara masuk dari 335 kawasan, sudah 95 persen dari total tempat pemungutan suara. Kemungkinan kelompok 'bertahan' menang sangat tipis.

Ketua Pelaksana Referendum, Jenny Watson, mengatakan ada total 33 juta suara yang masuk. Artinya tingkat kehadiran pemilih dalam referendum ini sebesar 72 persen.

Jurnalis ITV, Allegra Stratton, mengaku memperoleh sumber dari internal Partai Konservatif bahwa Perdana Menteri David Cameron akan diminta mundur akibat kemenangan kubu 'enyah'.

"Akan ada strategi mundur baik-baik bagi Cameron, tapi tidak dalam waktu dekat," kata Stratton menirukan kata-kata seorang petinggi partai.

PM Cameron bersama Partai Buruh meminta rakyat tetap memilih bersama Uni Eropa. Namun nyatanya dalam referendum mayoritas rakyat Inggris ingin keluar.

Hasil ini adalah kemenangan bagi politikus kanan ekstrem seperti Pemimpin Partai Britania Raya Independen (UKIP), Nigel Farage, ataupun mantan Wali Kota London Boris Johnson.

"Fajar telah tiba bagi Britania. Inilah kemenangan rakyat biasa, rakyat jujur yang bekerja keras," kata Farage.

Kemenangan kelompok 'enyah' mengecewakan rakyat Skotlandia. Pemilihan ini melibatkan warga Inggris, Wales, Irlandia Utara, serta Skotlandia. Hanya Skotlandia dan Irlandia Utara yang konsisten mendukung Britania tetap di Uni Eropa.

"Walau hasil secara nasional berbeda, bagi kami sudah jelas. Skotlandia memilih bertahan di Uni Eropa," kata Nicola Sturgeon, Pemimpin Partai SNP yang memimpin wilayah otonomi Skotlandia.

Britania Raya menjadi negara pertama yang meninggalkan Uni Eropa. Dampak keluarnya Inggris dkk dari Uni Eropa tak sekadar memperburuk ekonomi dunia. Organisasi diikuti 28 negara itu diyakini akan semakin terpecah di masa mendatang, akibat perbedaan sikap menghadapi isu imigran, memburuknya perekonomian, perang saudara di Ukraina, serta krisis utang Yunani.***