COPENHAGEN - Joanna Palani, nama mahasiswi cantik jurusan ilmu politik asal Denmark ini. Dia baru saja mudik usai bergabung dengan pasukan Kurdi untuk berperang melawan ISIS di Suriah. Joanna Palani yang baru berusia 23 tahun ini menceritakan bagaimana para militan ISIS “sangat mudah untuk membunuh”. Dia juga mendengar langsung para perempuan dan anak-anak gadis mengalami pelecehan seksual ketika disandera kelompok Islamic State atau ISIS.

Dia mengaku bertatap muka dengan militan ISIS yang dia sebut mahir membunuh.

Palani, dengan bekal pengetahuan tentang cara menembakkan pistol nekat menghabiskan waktu satu tahun untuk beperang melawan ISIS di garis depan. Dia juga mengajar anak-anak lain tentang bagaimana melawan kelompok radikal itu serta menyaksikan langsung kengerian dari perang di Suriah.

Menurutnya, ada perbedaan yang mencolok antara militan ISIS dan pasukan Presiden Suriah Bashar Al-Assad yang dia juluki sebagai “mesin pembunuh”.

"Militan ISIS sangat mudah untuk membunuh," katanya kepada Vice sambil tertawa. ”Militan ISIS sangat mahir dalam mengorbankan hidup mereka sendiri, tetapi tentara Assad sangat terlatih dan mereka spesialis mesin pembunuh,” lanjut dia yang dikutip Jumat (27/5/2016).

Palani yang berasal Copenhagen, Denmark, meninggalkan bangku kuliah pada bulan November 2014 untuk melakukan perjuangan menegakkan hak asasi manusia bagi semua orang.

Dia pertama kali melakukan perjalanan ke Irak, sebelum pindah ke Rojova, di Suriah.

Di sana, dia berjuang dengan pasukan Unit Perlindungan Rakyat (YPG) selama enam bulan, sebelum bergabung dengan pasukan Peshmerga yang juga selama enam bulan.

Pada malam pertama ikut perang di garis depan, perempuan muda ini menyaksikan pemandangan yang tak terbayangkan. Kawannya ditembak mati oleh seorang penembak jitu yang telah melihat asap rokoknya.

Dia dipaksa tak berdaya menyaksikan rekannya asal Swedia tewas dengan darah membasahi seragam barunya.

Dalam bulan-bulan berikutnya, Joanna Palani menemukan bakatnya dalam menembak. Dia juga pernah bertemu dengan pasukan Presiden Assad yang bersenjata lengkap. Yang membuatnya tidak tahan adalah ketika mendengar langsung derita gadis cilik yang diperkosa militan ISIS.

”Meskipun saya seorang pejuang, sulit bagi saya untuk membaca tentang bagaimana seorang gadis sepuluh tahun akan meninggal karena dia mengalai pendarahan dari pemerkosaan," katanya kepada Vice.

Pada awal 2015, Joanna terkejut menemukan sebuah rumah di sebuah desa dekat Mosul, Irak, di mana gadis-gadis muda yang disalahgunakan untuk pelampiasan seksual. Dia menceritakan bagaimana seorang korban, yang baru berusia 11 tahun, sedang mengandung anak kembar. Kehamilan itu yang membuat gadis cilik itu meninggal.

Joanna Palani yang kala itu masih menikmati cuti kuliah, harus pulang ke negaranya setelah menerima email dari Polisi Denmark.

Dia diberitahu bahwa paspornya tidak berlaku lagi. Jika dia kembali ke Suriah atau Irak, dia bisa dipenjara selama enam tahun di bawah undang-undang baru di negaranya.

Undang-undang ini dimaksudkan untuk menghentikan para fanatik ISIS bergabung dengan kelompok teror lain di daerah konflik.

Joanna kini kembali belajar ilmu politik dan filsafat di Copenhagen.