Aceh dan Sumedang memiliki keterikatan emosional yang tinggi karena pahlawan nasional Aceh, Cut Nyak Dien pernah diasingkan ke Sumedang oleh pemerintahan Belanda pada 1906. Jika berjalan-jalan ke Sumedang, salah satu pilihan tempat untuk dikunjungi adalah makam Cut Nyak Dhien dan rumah singgah Cut Nyak Dhien untuk mengetahui lebih jelas cerita Cut Nyak Dien selama dalam pengasingan. Lokasi untuk mengetahui jejak sejarah itu letaknya tidak jauh dari Alun-alun Sumedang.

Pada mulanya, masyarakat Sumedang mengenal Cut Nyak Dhien dengan panggilan “Ibu Perbu”. Kala itu, tidak ada masyarakat yang mengetahui bahwa Cut Nyak Dhien adalah pejuang besar Aceh. Hal itu disebabkan keterbatasan bahasa dan kondisi Cut Nyak Dhien yang buta.

Cut Nyak Dien hanya bisa berbahasa Arab. Ia dipanggil Ibu Perbu karena kepiawaiannya mengajarkan Al-quran. Tidak terlintas di pikiran bahwa guru mengaji mereka merupakan sosok pejuang besar kemerdekaan.

Melalui dekrit presiden pada 1964, Cut Nyak Dhien ditetapkan sebagai pahlawan kemerdekaan nasional. Baru diketahui secara pasti bahwa Ibu Prebu yang dikenal masyarakat Sumedang adalah Cut Nyak Dhien saat Pemda Aceh melakukan penelusuran pada 1960.

Di rumah inilah, Cut Nyak Dhien diasingkan bersama dua penjaganya. Cut Nyak Dhien diserahkan kepada Bupati Sumedang dan dirawat oleh KH Ilyas. Rumah singgah itu terletak tak jauh dari Mesjid Agung Sumedang. Rumah itu menjadi saksi bisu begitu kuat dan pantang menyerahnya Cut Nyak Dhien mempertahankan prinsip untuk tak ingin dijajah.

“Sosok Cut Nyak Dhien sangat berarti bagi warga Sumedang. Semasa pembuangan, Cut Nyak Dhien sering mengajarkan warga membenarkan tajwid Alquran dan memberikan dakwah dalam bahasa Arab,” ujar Dadang, keluarga dari KH Ilyas yang menjaga Cut Nyak Dien semasa pembuangan selama 2 tahun.

Setelah dua tahun diasingkan, Cut Nyak Dhien mengembuskan napas terakhirnya pada 6 november 1908 dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang, berjarak sekitar 1 km dari Masjid Agung Sumedang. Makam Cut Nyak Dien sering diramaikan para peziarah dari berbagai daerah seperti Tasikmalaya, Depok, Tangerang, Jakarta, dan terutama dari Aceh. Selain memberikan doa, para peziarah dapat belajar tentang kisah hidup dan sejarah Cut Nyak Dhien.

Meskipun terpisah ratusan kilometer dari Tanah Rencong tempat ia berjuang. Cut Nyak Dhien dalam pengasingannya tetap memberikan konstribusi kepada masyarakat. Perjuangan Cut Nyak Dien membuat seorang penulis Belanda, Szeky Lulof kagum dan menjulukinya Ratu Aceh.